Terlahir sebagai seorang muslim membuatku nyaman berkumpul bersama muslim lainnya. Hidup di pinggiran kota dengan segala kesederhanaaan yang dimilikinya, menjadikanku sosok yang bisa lebih menghargai karya anak desa. Ya, terlahir sebagai diriku adalah nikmat Tuhan yang paling aku syukuri dalam hidup.
Aku tak tahu bagaimana ceritaku dulu hingga bisa terlahir sebagai diriku saat ini. Hanya sedikit cerita yang ku dengar dari orang yang mengetahui kisah kedua orang tuaku. Aku banyak belajar dari mereka, ayah dan ibuku yang tak henti menjadi tempatku berkeluh resah sekaligus pelabuhan istirahatku. Dulu, banyak sekali mimpi besar yang aku ingin capai untuk membanggakan mereka dengan beragam prestasi. Namun kini, hanya untaian doa terbaik yang dapat kusampaikan pada Tuhan.
Saat itu usiaku 18 tahun. Pertama kali dalam hidup aku memberanikan diri berada dari dari orang tua dan keluarga. Sedikit berat awalnya, namun itulah hal yang harus aku lakukan. Minimnya pengetahuan tentang dunia perkuliahan membuatku buta tentang apa saja kemungkinan yang akan aku hadapi nanti. Dulu, keyakinanku hanya satu yaitu bagaimana caranya berada jauh dari orang tua dan keluarga agar aku bisa mandiri dan mengatur kehidupanku sendiri.
Pertama kali kaki ini menginjakkan kaki di kota Bogor, aku disambut dengan ramainya jumlah angkutan kota yang parkit di pinggiran jalan memnuhi trotoar hingga bahu jalan. Ya, Bogor adalah kota yang sudah hampir empat tahun ini menjadi tanah rantauku.
Lantas apa saja yang aku lakukan selama di Bogor? Jawaban singkatku adalah kuliah.
Apakah hanya kuliah? Jelas tidak
Ada banyak hal yang aku telah lakukan selain kuliah.
Sama seperti mahasiswa lainnya, aku banyak belajar mengenai berbagai hal tentang kehidupan. Aku yakin, setidaknya setiap mahasiswa pasti mendapatkan ilmu dan pengalaman baru yang mampu mengubah pola pikirnya, menambah wawasan dan mengelola emosinya. Kampus, sesungguhnya bukan benar-benar tempat belajar, tapi di sinilah tempat menempa diri menjadi lebih baik. Mau menjadi siapa saya nanti, di sinilah awal pijakan itu.
Saat pertama kali menginjakkan kaki, aku hanya mengenal teman satu SMA ku dulu. Sampai saat ini, aku masih sering berkunjung ke kosan mereka. Banyak hal yang ku pelajari dari mereka, bagaimana membawa diri dan menunjukkan identitas diri agar tidak mudah terpengaruh lingkungan yang kurang baik. Syelia Methasari namanya, perempuan yang menyenangkan dengan kepribadian yang tenang serta mampu bergaul dengan siapa saja. Temanku yang lain bernama Yesie Mutiarasyani, teman kosan yang kini menjadi pribadi tempatku mencari penerangan tentang apa yang sedang terjadi. Pribadinya yang ceplas-ceplos membuatku sennag berbagi dengannya. Kelakuannya sedikit ajaib, namun aku menyayanginya.
Dulu, setelah penguman mahasiswa baru jalur SNMPTN dan dinyatakan diterima, aku bersama temanku Satrio bersiap untuk menapaki kota Bogor dengan langkah yang tak biasa. Ya, kamihanyaerdua, tanpa didampingin orang tua dan sanak saudara. Itulah kami yang sangat hebat saat itu, pertama kali merantau tanpa keluarga. Satrio adalah tipe orang yang suka berkomentar tentang apa saja yang terjadi di sekitarnya, termasuk saat awal-awal aku memakai jilbab rapih pun ia turut berkomentar.
Ini adalah satu-satunya foto lengkap alumni SMA yang berkuliah di IPB |
Ya, banyak memang yang ebrkomentar negatif tentang penampilan luarku yang sedikit berubah saat itu. Aku pun menyadarinya.
"Si, kok sekarang jigong sih? Jadi kaya ibu-ibu gitu"
"Sy, kokrepot banget sih pakai kaos kaki segala?"
"Si, sejak kapan lo olahraga pake rok?"
Aku juga ga tau kapan tepatnya, proses hijrah berjalan begitu saja tanpa pernah ku sadari. Perlahan cerita-cerita lam mulai kusimpan dalam-dalam agar tidak membuatku kembali ke sana.
Bagaimana keadaanku saat ini?
Aku sangat baik, semoga saja selalu diberikan kebaikan oleh Tuhan.
Salah satu tantangan besar bagiku ialah adanya tekanan dari keluarga. Mereka belum sepenuhnya menyetujui keputusanku untuk berjilbab ditambah dnegan rok setiap harinya. Mungkin inilah saatku Tuhan mengujiku untuk istiqomah. Aku berusaha membuktikan, bahwa perubahan ini membuatku menjadi lebih baik. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari saat ini mereka mulai mendukung keputusanku. Harapan terbesarku saat ini agar ibu dan kakakku bisa berhijab dengan istiqomah dan keluarga kami senantiasa diberikan hidayah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bisa dibilang, saat ini aku sedang menapaki tahap akhir masa kuliah. Momen ini membuatk banyak berfikir tentang apa yang harus dan bisa aku lakukan dimasa depan setalah meyelesaikan amanah kuliahku ini. Sedikit banyak, aku mulai mengetahui apa yang menjadi minat dan bakatku. Entah jadi apa aku nanti, aku berharap agar bisa selalu bermanfaat bagi orang lain.
Hidup ternyata sesederhana itu, saat aku menulis cerita ini dan mengulik memori masa awal dulu, ternyata belum banyak hal yang aku selesaikan. Saat ini aku belajar untuk hidup sederhana dengan batasan-batasan yang kubuat sendiri. Aku ingin diri ini merasakan bagaimana harusnya menghargai yang sedikit dan mensyukuri yang banyak.
Menghargai momen bersama mereka, keluarga pertama di Bogor.
Keluarga Mahasiswa Lampung 51
Jadilah sederhana dan apa adanya, hidup hanya sebentar.
Comments
Post a Comment